·
Kesultanan Banten (1524 - 1813)
Kerajaan yang terletak di barat Pulau Jawa ini pada awalnya merupakan
bagian dari Kerajaan Demak. Banten direbut oleh pasukan Demak di bawah pimpinan
Fatahillah. Fatahillah adalah menantu dari Syarif Hidayatullah. Syarif
Hidayatullah adalah salah seorang wali yang diberi kekuasaan oleh Kerajaan
Demak untuk memerintah di Cirebon.
Syarif Hidayatullah memiliki 2 putra laki-laki, pangeran Pasarean dan Pangeran
Sabakingkin. Pangeran Pasareaan berkuasa di Cirebon. Pada tahun 1522, Pangeran Saba
Kingkin yang kemudian lebih dikenal dengan nama Hasanuddin diangkat menjadi
Raja Banten.
Setelah Kerajaan Demak mengalami kemunduran, Banten kemudian melepaskan
diri dari Demak. Berdirilah Kerajaan Banten dengan rajanya Sultan Hasanudin
(1522- 1570). Pada masa pemerintahannya, pengaruh Banten sampai ke Lampung.
Artinya, Bantenlah yang menguasai jalur perdagangan di Selat Sunda. Para
pedagang dari Cina, Persia,
Gujarat, Turki banyak yang mendatangi
bandar-bandar di Banten. Kerajaan Banten berkembang menjadi pusat perdagangan
selain karena letaknya sangat strategis, Banten juga didukung oleh beberapa
faktor di antaranya jatuhnya Malaka ke tangan Portugis (1511) sehingga para
pedagang muslim berpindah jalur pelayarannya melalui Selat Sunda. Faktor
lainnya, Banten merupakan penghasil lada dan beras, komoditi yang laku di
pasaran dunia.
Sultan Hasanudin kemudian digantikan putranya, Pangeran Yusuf
(1570-1580). Pada masa pemerintahannya, Banten berhasil merebut Pajajaran dan
Pakuan. Pangeran Yusuf kemudian digantikan oleh Maulana Muhammad. Raja yang
bergelar Kanjeng Ratu Banten ini baru berusia sembilan tahun ketika diangkat
menjadi raja. Oleh sebab itu, dalam menjalankan roda pemerintahan, Maulana
Muhammad dibantu oleh Mangkubumi. Dalam tahun 1595, dia memimpin ekspedisi
menyerang Palembang.
Dalam pertempuran itu, Maulana Muhammad gugur. Maulana Muhammad kemudian
digantikan oleh putranya Abu’lmufakhir yang baru berusia lima bulan. Dalam menjalankan roda
pemerintahan, Abu’lmufakhir dibantu oleh Jayanegara. Abu’lmufakhir kemudian
digantikan oleh Abu’ma’ali Ahmad Rahmatullah. Abu’ma’ali Ahmad Rahmatullah
kemudian digantikan oleh Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1692).
Sultan Ageng Tirtayasa menjadikan Banten sebagai sebuah kerajaan yang
maju dengan pesat. Untuk membantunya, Sultan Ageng Tirtayasa pada tahun 1671
mengangkat purtanya, Sultan Abdulkahar, sebagi raja pembantu. Namun, sultan
yang bergelar Sultan Haji berhubungan dengan Belanda. Sultan Ageng Tirtayasa
yang tidak menyukai hal itu berusaha mengambil alih kontrol pemerintahan,
tetapi tidak berhasil karena Sultan Haji didukung Belanda. Akhirnya, pecahlah
perang saudara. Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap dan dipenjarakan. Dengan
demikian, lambat laun Banten mengalami kemunduran karena tersisih oleh Batavia yang berada di
bawah kekuasaan Belanda.
Kehidupan
Ekonomi
Kerajaan Banten yang letaknya di ujung barat Pulau Jawa dan di tepi
Selat Sunda merupakan daerah yang strategis karena merupakan jalur lalu-lintas
pelayaran dan perdagangan khususnya setelah Malaka jatuh tahun 1511, menjadikan
Banten sebagai pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai
bangsa. Pelabuhan Banten juga cukup aman, sebab terletak di sebuah teluk yang
terlindungi oleh Pulau Panjang, dan di samping itu Banten juga merupakan daerah
penghasil bahan ekspor seperti lada.
Selain perdagangan kerajaan Banten juga meningkatkan kegiatan
pertanian, dengan memperluas areal sawah dan ladang serta membangun bendungan
dan irigasi. Kemudian membangun terusan untuk memperlancar arus pengiriman
barang dari pedalaman ke pelabuhan. Dengan demikian kehidupan ekonomi kerajaan
Banten terus berkembang baik yang berada di pesisir maupun di pedalaman.
Kehidupan Sosial Budaya
Kehidupan masyarakat Banten yang berkecimpung dalam dunia pelayaran,
perdagangan dan pertanian mengakibatkan masyarakat Banten berjiwa bebas,
bersifat terbuka karena bergaul dengan pedagang-pedagang lain dari berbagai
bangsa. Para pedagang lain tersebut banyak
yang menetap dan mendirikan perkampungan di Banten, seperti perkampungan
Keling, perkampungan Pekoyan (Arab), perkampungan Pecinan (Cina) dan
sebagainya. Di samping perkampungan seperti tersebut di atas, ada perkampungan
yang dibentuk berdasarkan pekerjaan seperti Kampung Pande (para pandai besi),
Kampung Panjunan (pembuat pecah belah) dan kampung Kauman (para ulama).
Dalam bidang kebudayaan : kerajaan Bnaten pernah inggal seorang Syeikh
yang bernama Syeikh Yusuf Makassar (1627-1699), ia sahabat dari Sultan Agung
Tirtayasa, juga Kadhi di Kerajaan Banten yang menulis 23 buku. Selain itu di
Banten pada akhir masa kesultanan lahir seorang ulama besar yaitu Muhammad
Nawawi Al-bantani pernah menjadi Imam besar di Masjidil Haram. Ia wafat dan
dimakamkan di Makkah, sedikitnya ia telah menulis 99 kitab dalam bidang Tafsir,
Hadits, Sejarah, Hukum, tauhid dan lain-lain. Melihat kajiannya yang beragam
menunjukkan ia seorang yang luas wawasannya. Salah satu contoh wujud akulturasi
tampak pada bangunan Masjid Agung Banten, yang memperlihatkan wujud akulturasi
antara kebudayaan Indonesia,
Hindu, Islam di Eropa. Untuk lebih jelasnya, silahkan Anda amati bentuk Masjid
Agung Banten seperti yang tampak pada gambar 11 berikut ini.
Bahwa arsitek Masjid Agung Banten tersebut adalah Jan Lucas Cardeel,
seorang pelarian Belanda yang beragama Islam. Kepandaiannya dalam bidang
bangunan dimanfaatkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa untuk mendirikan
bangunan-bangunan gaya Belanda (Eropa) seperti
benteng kota
Inten, pesanggrahan Tirtayasa dan bangunan Madrasah.
>>> Silahkan Klik UNTUK Membaca Selengkapnya >>> DOWNLOAD DI SINI
0 komentar:
Posting Komentar