Senin, 14 Januari 2013

Mahkamah Konstitusi dalam Kerikil Dunia Pendidikan

 
Jakarta - Tepat pada tanggal 8 Januari 2013 Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 5/PUU-X/2012 kembali menunjukkan semnagat perlawanan terhadap kapitalisme yang menggerogoti bangsa ini.

Dengan dibatalkannya Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terkait pengaturan keberadaan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) dan Sekolah Berstandar Internasional (SBI) semakin membuktikan bahwa pendidikan itu untuk semua, bukan untuk kalangan tertentu semata.

Pelaksanaan RSBI dan SBI selama ini diagung-agungkan oleh beberapa sekolah yang merasa berprestasi, telah berakhir.

Sebab dengan adana predikat tersebut memberikan hak previlage kepada sekolah berstatus RSBI dan SBI untuk mendapa fasilitas atau sarana lainnya yang tidak didapatkan oleh sekolah Non–RSBI dan SBI.

Di samping itu sekolah RSBI dan SBI juga diperbolehkan untuk melakukan pungutan-pungutan tertentu terhadap siswa dengan alasan untuk peningkatan mutu sekolah, sehingga pembiayaan tersebut sangat membebankan para orang tua siswa.

Perbedaan tersebut akan semakin kentara di sekolah-sekolah penganut dulisme sistem, yang memiliki beberapa lokal RSBI atau masih ada kelas reguler.

Adanya pembedaan kelas tersebut memiliki dampak negatif terhadap proses pendidikan, dimana siswa yang berada di kelas RSBI merasa lebih hebat daripada siswa yang berada di kelas reguler.

Tidak hanya siswa, perlakuan diskriminatif juga terjadi dikalangan tenaga pendidik, dimana guru selalu membangga-banggakan siswa kelas RSBI kepada siswa kelas reguler yang cenderung membandingkan kedua kelas tersebut.

Perlakuan-perlakuan diskriminatif tersebut memiliki dampak negatif terhadap para siswa, hal tersebut akan menjadikan siswa yang berada dikelas reguler merasa rendah diri, sehingga akan akan menghambat proses transformasi ilmu di sekolah, dan akan menghilangkan tujuan atau hakikat pendidikan itu sendiri.

Padahal belum tentu siswa di kelas RSBI lebih hebat dibanding siswa Reguler, sebab untuk masuk kelas RSBI yang pertamakali berbicara adalah uang, siapa yang memiliki uang maka dia diprioritaskan untuk masuk kelas RSBI, sehingga mereka yang lebih berprestasi tapi tidak memiliki cukup uang maka jangan harap untuk diprioritaskan masuk kelas RSBI.

Putusan MK, Harapan Dunia Pendidikan

Ibaratkan tokoh fiksi Superman yang menolong orang-orang yang terancam bahaya, MK dalam hal ini bisa dikatakan sebagai pahlawan konsititusi.

Kalau superman dianggap pahlawan ketika dia berhasil menyelamatkan ribuan nyawa dari ancaman musuk, maka MK berhasil menyelamatkan jutaan masyarakat Indonesia dari ancaman kapitalisme pendidikan.

Keberadaan RSBI dan SBI menurut MK tidak tepat atau inskonstitusional. Dalam putusannya MK mengabulkan permohonan para Pemohon untuk keseluruhannya.

Berikut alasan para Pemohon menyatakan Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, pertama, satuan pendidikan bertaraf internasional bertentangan dengan kewajiban negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sedangkan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi tidak semata-mata mewajibkan negara memfasilitasi tersedianya sarana dan sistem pendidikan yang menghasilkan peserta didik yang memiliki kemampuan yang sama dengan negara-negara maju, tetapi pendidikan harus juga menanamkan jiwa dan jati diri bangsa.

Pendidikan nasional tidak bisa lepas dari akar budaya dan jiwa bangsa Indonesia. Penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar pada RSB dan SBI akan menjauhkan pendidikan nasional dari akar budaya dan jiwa bangsa Indonesia.

Kedua, satuan pendidikan bertaraf internasional menimbulkan dualisme sistem pendidikan. Dengan adanya RSBI-SBI menyebabkan terjadinya dualisme sistem pendidikan di Indonesia yaitu sistem pendidikan nasional dan sistem pendidikan (bertaraf) internasional.

Dalam pelaksanaannya sekolah bertaraf internasional berorientasi kepada kurikulum internasional dan menggunakan bahasa internasional dalam hal ini bahasa inggris sebagai bahasa pengantar.

Sedangkan sekolah umum atau nasional menggunakan kurikulum nasional dan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.

Ketiga, satuan pendidikan bertaraf internasional adalah bentuk baru liberalisasi pendidikan. Jiwa dan semangat RSBI dan SBI merupakan komersialisasi dan liberalisasi pendidikan dengan membawa para pelaku penyelenggara pendidikan sebagai pelaku pasar.

Pemerintah yang seharusnya menjadi faktor utama dalam penyelenggaraan pendidikan hanya ditempatkan menjadi fasilitator.

Dengan konsep demikian, maka negara mereduksi peran dan kewajibannya untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang dapat mencerdaskan seluruh bangsa yang syarat utamanya adalah seluruh warga negara tanpa terkecuali memiliki akses pendidikan.

Keempat, satuan pendidikan bertaraf internasional menimbulkan diskriminasi dan kastanisasi dalam bidang pendidikan. Keberadaan RSBI dan SBI membuka potensi lahirnya diskriminasi. Dengan citra RSBI-SBI di daerah-daerah menjadikan sekolah tersebut sebagai sekolah unggulan.

Oleh karenanya dinilai wajar jika sekolah selektif dalam menerima siswanya. Namun prateknya dasar seleksi yang dilakukan pihak RSBI atau SBI tidak saja memperhatikan kemampuan intelektual dari siswanya namun juga kemampuan finansial dari orang tua siswa.

Disamping itu satuan pendidikan bertaraf internasional melalui RSBI dan SBI juga menyebabkan terjadinya kastanisasi (penggolongan) dalam bidang pendidikan. Hanya siswa dari keluarga kaya atau mampu yang mendapatkan kesempatan sekolah di RSBI atau SBI (sekolah kaya atau elit).

Sedangkan siswa dari keluarga sederhana atau tidak mampu (miskin) hanya memiliki kesempatan diterima di sekolah umum (sekolah miskin). Selain itu muncul pula kasta dalam sekolah seperti yaitu SBI, RSBI dan Sekolah Reguler.

Bahkan dalam satu lingkungan sekolah juga muncul kasta kelas RSBI maupun kasta kelas reguler. Kastanisasi mengingatkan pada sistem kolonial yang membeda-bedakan antara pendidikan untuk bumi putera, pendidikan untuk timur asing, dan pendidikan untuk kaum penjajah.

Kelima, satuan pendidikan bertaraf internasional berpotensi menghilangkan jati diri bangsa Indonesia yang berbahasa Indonesia. Proses pendidikan RSBI atau SBI ditekankan kepada mata pelajaran bahasa inggris, matematika dan fisika serta penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar.

Penggunaan bahasa inggris sebagai bahasa pengantar di sekolah yang dikelola pemerintah akan mengurangi makna bahasa Indonesia sebagai bahasa negara sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 36 UUD 1945 yang menyebutkan "bahasa negara adalah bahasa indonesia".

Kelima hal di atas yang menjadi poin yang menjadi alasan para Pemohon mengajukan permohonan untuk pembatalan Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas, yang dalam hal ini dijadikan MK sebagai alasan pertimbangan dalam putusannya.

Jika mengutip pendapat Hywel Coleman konsultan pendidikan dari British Council dan pengajar di Universitas Leeds, Inggris pada tahun 2011 tentang RSBI pada intinya menyebutkan penggunaan bahasa Inggris dalam proses belajar-mengajar telah merusak kompetensi berbahasa Indonesia dari siswa.

Mestinya Indonesia menyiapkan siswa berwawasan internasional dengan bangga terhadap budaya bangsanya. Bukan dengan mengubah cara penyampaian pelajaran menggunakan bahasa Inggris (Putusan MK No. 5/PUU-X/2012, hlm. 50).

Undang-Undang Pendidikan Tinggi Menanti

Dikabulkannya permohonan Pembatalan terhadap Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas menambah rentetan permohonan pembatalan pasal-pasa pada undang-undang terkait pendidikan yang dibatalkan MK.

Sebelumnya Undang-Undang No 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) dibatalkan oleh MK keseluruhannya. Pembatalan UU BHP juga tidak lepas dari adanya upaya internasionalisasi, dikriminasi dan kastanisasi dalam pendidikan, sebagaiman yang terjadi dalam UU Sisdiknas.

Pembatalan terhadap pasal-pasal pada undang-undang terkait pendidikan itu, mencerminkan tidak adanya upaya pemerintah untuk memajukan pendidikan sebagaimana yang di cita-citakan, yang juga diamanatkan dalam Konstitusi negara ini.

Adapun upaya untuk memajukan pendidikan hanya terjadi pada kalangan tertentu, serta menciptakan diskriminasi, dan memuaskan kalangan-kalangan tertentu.

Campur tangan MK dalam membendung upaya-upaya liberalisasi, diskriminasi, kastanisasi, dan upaya-upaya lainnya terhadap dunia pendidikan masih belum berakhir, mungkin tidak akan pernah berakhir.

Lahirnya Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) yang diundangan 10 Agustus 2012 lalu, memberikan tugas baru terhadap MK, sebab undang-undang yang baru lahir tersebut tidak jauh beda dengan para pendahulunya terutama dengan UU BHP, adapun perbedaan lebih kepada penamaan, dan gramatikal yang lebih diperhalus.

UU Dikti ini telah diajukan permohonan Judicial Review oleh beberapa mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi, secara terpisah.

Permohonan tersebut telah diajukan beberapa bulan setelah undang-undang tersebut di sahkan, dan sedang proses di MK. Adapun alasan pengajuan permohonan tidak jauh berbeda dengan alasan pada UU BHP dan UU Sisdiknas, bedanya UU Dikti ini khusus untuk pendidikan tinggi.

Semoga pengajuan Judicial Review terhadap UU Dikti tersebut, dapat berakhir seperti halnya permohonan terhadap UU BHP, dan UU Sisdiknas yang telah dikabulkan MK.

Sehingga upaya-upaya komersialisasi pendidikan oleh pihak-pihak tertentu di negara ini tidak terjadi atau tidak terwujud. Sehingga tujuan dan hakekat dari pendidikan tersebut dapat diwujudkan, demi kemajuan bangsa ini.

*Penulis adalah Pengabdi Bantuan Hukum LBH Padang dan Anggota Komnas Pendidikan


Syahrul Fitra, S.H.
Padang Legal Aid Institute
fitrasyahrul@gmail.com

Artikel yang berkaitan



0 komentar:

Posting Komentar

Majalah Dinding

Baca Itu Penting