Senin, 14 Januari 2013

Popularitas atau Elektabilitas?

 
Jakarta - Menjelang pemilihan umum (pemilu) yang makin dekat, partai-partai politik dan tokoh-tokoh yang berminat untuk maju dalam pemilu itu, sudah mulai bersiap-siap. Sebagian sudah ada yang mengarah, sebagian lain baru pasang kuda-kuda.



Jika diperhatikan dari efektifitas sebuah kampanye, mungkin dapat disebutkan, semua mereka sesungguhnya belum berkampanye, walaupun sudah ada yang mulai turun ke desa-desa, atau melemparkan jargon-jargon dan harapan-harapan melalui media massa. Alasannya, istilah-istilah yang dipergunakan banyak yang masih sulit dicerna rakyat biasa. Bahasa yang diucapkan masih bergaya puisi.

Minggu yang lalu, seorang tetangga saya, lulusan S2 dari sebuah perguruan tinggi di USA, datang bertanya kepada saya makna dari “ruang” yang dipergunakan dalam kampanye politik seorang tokoh nasional. Katanya, tokoh politik itu kira-kira mengatakan “untuk pembangunan kita memerlukan sebuah ‘ruang’ yang aman dan damai……”. Saya hanya tersenyum, tidak memberi sesuatu jawaban. Nah, kalau teman saya ini belum dapat mengerti istilah yang dipergunakan, bagaimana lagi dengan rakyat umum di desa-desa dan kota-kota? Kalau rakyat tidak tahu apa yang dikatakan, untuk apa ada kampanye?

Pertanyaan yang perlu kita kemukakan, apa yang menjadi tujuan dari kampanye itu? Apakah sekedar untuk popularitas dengan sering tampil, atau untuk meningkatkan elektabilitas? Istilah popularitas dan elektabilitas dalam masyarakat memang sering disamaartikan. Padahal keduanya mempunyai makna dan konotasi yang berbeda, meskipun keduanya mempunyai kedekatan dan korelasi yang besar.

Popularitas lebih banyak berhubungan dengan dikenalnya seseorang, baik dalam arti positif, ataupun negatif. Sementara elektabilitas berarti kesediaan orang memilihnya untuk jabatan tertentu. Artinya, elektabilitas berkaitan dengan jenis jabatan yang ingin diraih. Elektabiltas untuk menjadi gubernur tidak sama dengan elektabilitas untuk jabatan Ketua PSSI.

Dalam masyarakat, sering diartikan, orang yang populer dianggap mempunyai elektabilitas yang tinggi. Sebaliknya, seorang yang mempunyai elektabilitas tinggi adalah orang yang populer. Memang kedua konstatasi ini ada benarnya. Tapi tidak selalu demikian. Popularitas dan elektabilitas tidak selalu berjalan seiring. Adakalanya berbalikan.

Orang menjadi popular karena sering tampil di depan umum. Sering terlibat dengan persoalan-persoalan publik. Bagaimana dia tampil, merupakan persoalan lanjutan untuk menilai elektabilitasnya. Kalau tampilnya sebagai pelaku kriminal, sebagai koruptor atau karena tindakan yang melanggar etika publik, maka pengaruhnya terhadap elektabilitas tentu saja negatif.

Aceng Fikri sekarang sudah menjadi sangat populer. Sudah dikenal secara meluas, mulai dari orang kecil dikaki gunung, sampai ke SBY di istana Negara. Tapi apakah dia memiliki elektabilitas untuk maju sebagai Calon Presiden tahun 2014 ?

Orang yang memiliki elektabilitas tinggi adalah orang yang dikenal baik secara meluas dalam masyarakat. Namun untuk dapat dikenal secara luas, perlu ada usaha untuk memperkenalkan. Di sini publikasi dan kampanye memegang peranan penting. Ada orang baik, yang memiliki kinerja tinggi dalam bidang yang ada hubungannya dengan jabatan publik yang ingin dicapai, tapi karena tidak ada yang memperkenalkan menjadi tidak elektabel. Sebaliknya, orang yang berprestasi tinggi dalam bidang yang tidak ada hubungannya dengan jabatan publik, boleh jadi mempunyai elektabilitas tinggi karena ada yang mempopulerkannya secara tepat.

Maka itu, dalam hal ini tergantung pada dua aspek. Pertama, teknik kampanye yang dipergunakan. Kedua, tingkat kematangan masyarakat. Dalam masyarakat yang belum berkembang, kecocokan profesi tidak menjadi persoalan. Sementara dalam masyarakat yang relative maju professi calon menjadi cukup penting.

Uraian ini perlu dikemukakan dengan maksud untuk memperjelas bagi mereka yang ingin maju sebagai calon presiden dan calon wakil presiden pada waktu yang akan datang. Begitu juga bagi juru kampanyenya.

Yang perlu diingat, tidak semua kampanye berhasil meningkatkan elektabilitas. Ada kampanye yang menyentuh, ada kampanye yang tidak menyentuh kepentingan rakyat. Kampanye yang menyentuh kapentingan rakyat bisa diharapkan dapat meningkatkan elektabilitas. Tapi kampanye asal kampanye, tanpa menampilkan kinerja tokoh atau menggunakan kata-kata yang tidak relevan atau yang tidak dapat dipahami rakyat, nampaknya dapat berakibat pada “arang habis, besi binasa”.

Sementara itu ada kampanye yang berkedok sebagai survei, dengan tujuan untuk mempengaruhi orang yang sulit membuat keputusan dan sekaligus mematahkan semangat lawan. Kampanye seperti ini jika dilakukan secara periodik, dengan hasil yang sudah didesain, sering kali sangat efektif. Tetapi teknik kampanye seperti ini dapat merusakkan image survei di mata masyarakat pada masa yang akan datang. Secara ilmiah dapat dipandang sebagai pengkhianatan terhadap ilmu pengetahuan. Karena itu, pemerintah perlu melarang.

*) Said Zainal Abidin, adalah ahli manajemen pembangunan daerah (regional development management) dan kebijakan publik, guru besar STIA LAN. Sekarang sebagai penasihat KPK.

Artikel yang berkaitan



0 komentar:

Posting Komentar

Majalah Dinding

Baca Itu Penting